Selasa, 31 Mei 2011

Ilham



Ilham adalah pengaruh yang Allah berikan dalam jiwa seseorang sehingga mendorongnya untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu.

Ia merupakan salah satu jenis wahyu’ yang Allah khususkan bagi siapa sahaja di antara hamba-hambaNya yang Ia kehendaki.

Allah swt berfirman :

"Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." (QS Asy-Syams : 7-8)

Rasulullah saw berdoa :


"Ya Allah ilhamkanlah kepadaku kebenaran dan lindungilah aku dari keburukan jiwaku." (HR Tirmizi)
Ilham lebih umum daripada `tahdits' kerana ilham berlaku umum bagi orang-orang yang beriman sesuai dengan tingkatan keimanannya. Setiap mukmin mendapatkan ilham kebenaran dari Allah swt sesuai dengan tingkatan keimanannya.

Adapun `tahdits', Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sabdanya :


"Jika ada orang yang muhadats dari umatku, maka Umarlah orangnya" (HR Bukhari dan Muslim)
Bentuk ilham yang banyak dikenali, antara lain berupa pesanan yang diberikan ke dalam hati seorang mukmin melalui pembicaraan malaikat dengan ruhnya.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda :

"Sesungguhnya malaikat mempunyai hasrat di hati anak Adam, demikian juga syaitan. Hasrat malaikat berupa ajakan untuk kebaikan dan membenarkan ancaman Allah swt, sedangkan hasrat syaitan adalah ajakan untuk melakukan kejahatan dan mendustakan janji Allah, – kemudian beliau membaca firman Allah – "Syaitan itu menjanjikan kefaqiran kepadamu dan memerintahkan perbuatan yang keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan anugerah kepadamu." (HR Tirmizi)

Allah swt berfirman :


"(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, " Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman." (QS Al-Anfal : 12)
Sebahagian ulama' menafsirkan ayat ini dengan :


"Wahai malaikat kuatkanlah hati orang-orang yanng beriman dan berilah khabar gembira kepada mereka dengan kemenangan."
Sebahagian yang lain mengatakan :

"Hadirlah wahai malaikat bersama orang-orang mukmin di medan perang."

Kedua-dua penafsiran itu sama-sama benar, kerana malaikat memang hadir bersama orang-orang mukmin di medan perang dan meneguhkan hati mereka.

Termasuk dalam kategori pesanan ini adalah nasihat yang diberikan oleh Allah swt kepada hati hamba-hambanya yang mukmin, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Imam Ahmad dari sahabat Nawwas bin Sam'an dari Nabi Muhammad saw, bahwa baginda saw bersabda :


"Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan berupa sebuah jalan yang lurus. Pada kedua sisi jalan tersebut terdapat dua dinding yang masing-masing mempunyai pintu yang terbuka. Pada masing-masing pintu terdapat tirai, ada penyeru di hujung jalan, dan ada pula penyeru di atas jalan. Jalan yang lurus adalah Islam, kedua dindingnya adalah batas-batas Allah, dan pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak ada seorang pun yang melanggar suatu batas di antara batas-batas Allah, kecuali bila ia menyingkap tirai itu. Penyeru yang berada pada hujung jalan adalah Kitabullah, sedangkan penyeru yang berada di atas jalan adalah penasihat dari Allah dalam hati orang yang beriman."
Penasihat yang ada dalam hati orang-orang yang beriman itulah ilham Ilahi dengan perantaraan malaikat.

Termasuk dalam kategori ilham adalah ‘firasat’, iaitu cahaya yang Allah berikan ke dalam hati untuk membezakan antara :
  1. Haq dan batil.
  2. Jujur dan dusta.
Allah swt berfirman :


"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi `mutawassimin' (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda)." (QS Al-Hijr : 75)
Menurut Mujahid ra, yang dimaksudkan dengan "mutawassimin" adalah "mutafarrisin" (orang-orang yang diberi firasat).

Imam Tirmizi meriwayatkan dari Abi Sa'id ra dari Nabi saw bahwa baginda bersabda:


“Takutlah kamu kepada firasat orang mukmin, kerana ia memandang dengan cahaya Allah Azza wa Jalla.”
Kemudian baginda membaca :

"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi ‘mutawassimin’ (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda)." (QS Al-Hijr : 75)

Khazanah Islam meliputi seluruh potensi yang ada pada diri manusia. Termasuk di dalamnya adalah potensi manusia untuk berfirasat.

Sebahagian manusia berpandangan bahwa firasat adalah sebuah fikiran yang tidak rasional, namun serasional apapun diri manusia, pasti pernah terlintas di hatinya suatu firasat atas keadaan sesuatu.

Naluri firasat mampu membuatnya merasakan :
  1. Getaran kegelisahan hati orang lain.
  2. Kedatangan bahaya yang mengancam dirinya.
  3. Jalur fikiran lawan bicaranya.
serta banyak lagi contoh-contoh yang boleh disebutkan.
Seterusnya, firasat tersebut menjadi pegangan baginya untuk :
  1. Bertindak.
  2. Melangkah.
  3. Memilih.
Namun, suatu perkara yang perlu diperingatkan bahwa apapun yang dimunculkan oleh firasat, tidak boleh dijadikan landasan hukum syar'ie.

Sejauh manakah Nabi Muhammad saw dan para sahabat memberi komen terhadap potensi firasat dan bersikap terhadapnya?

Pernah diceritakan pada zaman sahabat di mana pada suatu hari, Utsman bin Affan ra memberi komentar ketika ia didatangi oleh seorang pemuda.

"Saya didatangi oleh orang yang ternampak bekas zina pada matanya." kata Utsman.

Orang itu terkejut, namun ia membenarkan perkataan Utsman bahwa dalam perjalanannya menuju majlis itu, ia memang terpesona oleh kecantikan seorang wanita.

"Apakah ada wahyu setelah meninggalnya Rasulullah saw?"

"Tidak ada", balasnya.

Utsman lalu mengatakan :


"Tidak, ini hanya pandangan, petunjuk dan firasat yang benar."
Firasat, menurut Ibnul Qayyim dalam kitabnya `Ar- Ruh' adalah cahaya yang Allah berikan ke dalam hati hambaNya yang soleh.

Cahaya itu menjadikan seorang hamba dapat menduga sesuatu yang akan terjadi pada dirinya atau menjadikannya dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang lain.

Meskipun ia sebuah lintasan hati, firasat tentunya bukan `su'u dzon' atau buruk sangka.

Firasat tumbuh dari kebersihan hati kerana kedekatan seseorang kepada Allah manakala sebaliknya buruk sangka tumbuh dari kekotoran hati dan kejauhan hubungan dengan Allah swt.

Ibnu Abbas ra memberi makna perkataan `mutawassimin' dalam firman Allah swt :


"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda (mutawassimin)."
Menurut Ibnu Abbas, `mutawassimin' adalah `mutafarrisin' atau orang-orang yang memiliki firasat.

Pandangan seperti itulah yang dimaksudkan dalam sabda Rasulullah saw :


"Takutlah kamu dengan firasat orang mu'min kerana ia melihat dengan cahaya Allah." (HR Tirmizi)
Dalam sebuah hadits Qudsi yang sahih, Rasulullah saw menyebutkan :

"Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri padaKu yang lebih Aku cintai dari melakukan apa yang telah Aku wajibkan. Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepadaku dengan mengerjakan perintah yang sunnah, kecuali Aku pasti mencintainya. Dan bila aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar. Aku akan menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat. Aku akan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul. Aku akan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. DenganKu lah ia mendengar, melihat, memukul dan berjalan."

Hadits Qudsi ini sekaligus menyebutkan pertalian yang kuat antara kedekatan seorang hamba dan Allah dengan cahaya Allah yang akan menjadikannya mampu memiliki firasat yang benar.
  1. Rasulullah saw boleh mengetahui sahabat yang solat di belakangnya seperti menyaksikan mereka di hadapannya.
  2. Rasulullah juga boleh melihat Baitul Maqdis yang jauh secara terperinci dari tempatnya di Makkah.
  3. Baginda juga dapat mengetahui keadaan para sahabatnya dalam perang mu'tah ketika ia berada di Madinah.
  4. Rasulullah juga mengetahui ketika Najasyi wafat di Habsyah, padahal Rasulullah saw berada di Madinah.
Atas firasat itulah, Rasulullah saw mengajak para sahabatnya untuk melakukan solat ghaib ketika kematian Najasyi.

Umar bin Al Khattab pun mengetahui keadaan pasukannya di Nahawand ketika berperang melawan pasukan Parsi, padahal Umar berada di Madinah.

Itu yang menyebabkan secara tiba-tiba, khalifah kedua umat Islam itu mengatakan :

"Pasukan!, naik ke gunung… pasukan naik ke gunung…"


CAHAYA DI ATAS CAHAYA
Manusia dikatakan sebagai khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi jika ia telah mencapai keadaan jiwa tersebut, iaitu apabila ia membawa kuasa Allah dan bercitra Ar-Rahman’. 

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahayaNya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan kaukab(bintang) yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya sahaja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahayaNya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An Nur : 35)

Ayat di atas memberi isyarat tentang hakikat manusia, di mana di dalam jasad (misykat)-nya terdapat nafs(jiwa) yang qalb (zujajah)-nya bercahaya seperti bintang kerana telah dinyalakan dari dalam dengan api Ruh al-Quds (mishbah).

Adapun misykat (jasad) sifatnya kusam/suram dan tidak pandang tembus kerana ianya sebagai lambang jasad yang berasal dari alam bumi yang merupakan manifestasi yang paling rendah dari kehadiran Al-Haq dalam alam syahadah’. 

Bola kaca zujajah yang jernih serta pandang tembus melambangkan qalb di mana ia  merupakan aspek rasa dari nafs yang berasal dari alam malakut.

Manusia terus melakukan serangkaian proses tazkiyyatun-nafs (penyucian jiwa) sehingga jernihlah hatinya dan nampaklah titik-apinya yang menyala di dalam inti jiwanya.

Jika manusia dapat mencapai keadaan seperti yang digambarkan oleh ayat di atas, maka insan tersebut dinamakan sebagai ‘syuhada (saksi Allah sejati) kerana telah berperanan membawa cahaya yang menampakkan khazanah Ilahi sebagai Harta Terpendam. Ayat di atas menyatakan dengan jelas akan struktur sasaran yang mesti dicapai oleh manusia walau seberapa sukar sekalipun.

JENIS-JENIS FIRASAT

Firasat ada tiga jenis :


PERTAMA : Firasat `imaniyah', iaitu firasat orang-orang yang beriman.
Jenis ini sentiasa tegak di atas kebenaran.


KEDUA : Firasat `riyadhiyah', iaitu firasat yang dihasilkan melalui lapar, melawan

nafsu dan menyendiri.
Ini berlaku kerana jiwa telah terbebas dari penghalang-penghalangnya, maka ‘firasat’ dan ‘kasyaf’ akan diperolehi sesuai dengan tingkatan kebebasannya dari penghalang tersebut.


KETIGA : Firasat `khalqiyah', iaitu firasat yang para doktor menulis tentangnya.
Mereka cuba untuk menghubungkan antara sifat-sifat fizikal dengan sifat-sifat `psikis' kerana memang ada kaitan yang dikehendaki hikmahnya oleh Allah swt.

Dua jenis firasat yang terakhir ini boleh dimiliki oleh siapa sahaja :
  1. Baik mukmin mahupun kafir.
  2. Tidak menunjukkan keimanan dan kewalian.
  3. Tidak menyingkap tentang kebenaran yang bermanfaat mahupun jalan yang lurus.
Namun firasat `imaniyah' hanya khusus bagi orang-orang yang beriman di mana ketika ketundukan dan kedekatan kalbu mereka kepada Yang Maha Kuasa begitu tinggi, maka ia akan melahirkan pandangan yang bersih dan jernih.

Ya Allah, kurniakanlah kepada kami ilham yang baik, termasuk di dalamnya firasat di mana kami dapat melihat dengan perantaraan nurMu. Pancarkanlah cahayaMu ke dalam hati kami sehingga kami mampu memandang tembus sesuatu keadaan sehingga ianya menerangi jalan hidup kami yang akan membuatkan kami mudah untuk menjalani kehidupan ini walau dikelilingi oleh segala ujian dan cabaran.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan